Laman

Rabu, 28 April 2010

LEGENDA MARGA PURBA KARO

Menampilkan satu-satunya kiriman.
Masrul Purba Dasuha Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Di kawasan Berastagi di Tanah Karo terdapat satu tempat yang dinamakan Buluh Duri, di tempat itu terdapat tujuh mata air. Menurut cerita yang berkembang, tempat yang bernama Buluh Duri itu pada zaman dahulu merupakan tempat pembuangan seorang putra raja. Alkisah pada masa itu, di daerah Simalungun yang berbatasan dengan Tanah Karo terdapat sebuah kerajaan dengan rajanya bermarga Purba. Semenjak putra bungsunya lahir, Raja ini sering mengalami sakit-sakitan, banyak dukun yang sudah mengobatinya tetapi penyakit raja ini tak juga kunjung sembuh. Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk mengobatinya.

Dengan menggunakan kesaktian mereka para guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa putra bungsu raja itulah sumber penyakit dan malapetaka selama ini. Untuk menghindarkan malapetaka itu, maka putra bungsu harus dibuang.

Untuk itu, mereka lalu pergi membawa putra bungsu Raja Purba yang sudah beranjak remaja jauh ke tengah hutan belantara. Di dalamnya, mereka kemudian membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal putra raja itu. Setelah gubuk selesai didirikan, Para guru Pakpak lantas meninggalkan putra raja itu sendirian. Tetapi ketika mereka akan pergi, para guru Pakpak ini lebih dahulu memberikan panah, pedang, dan pisau kepada putra Raja Purba itu. Setelah itu mereka menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu muncullah tujuh mata air bening. Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk itu. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal dengan nama Buluh Duri.

Setelah beberapa tahun putra Raja Purba tinggal di tempat Pembuangannya, di tengah hutan belantara, tumbuhlah dia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Pada suatu hari, dia pergi berburu, dalam perburuan dia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni. Iapun mengejar burung itu untuk menangkapnya, tapi burung itu terus terbang, ke mana saja burung itu terbang terus dikejarnya. Ketika sedang mengejar burung itu, ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan rambutnya yang terurai panjang. Si pemuda sangat terkejut dan heran melihat gadis cantik itu berada sendirian di tengah hutan. Di samping itu, dia merasa gembira pula karena sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah bertemu dengan manusia lain. Dengan hati berdebar-debar, dihampirinya gadis cantik itu. Sambil tersenyum gadis itu menanyakan apa maksud kedatangannya ke tempat itu. Mendengar pertanyaan gadis cantik itu si pemuda kemudian menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu hendak menangkap seekor burung. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Semua pertanyaan gadis itu dijawab oleh si pemuda. Dengan demikian tahulah si gadis bahwa si pemuda berasal dari daerah Simalungun, dan putra raja bermarga Purba.

Setelah lama bercakap-cakap berduaan, akhirnya si gadis mengajak si pemuda pergi bersama-sama ke tempat tinggalnya. Si pemuda menerima ajakannya itu dan mereka lalu pergi menuju tempat tinggal si gadis. Ternyata tempat tinggalnya di dalam sebuah gua besar. Letaknya tidak begitu jauh dari mata air tempat gadis itu ditemukan si pemuda.

Beberapa saat setelah mereka memasuki gua tempat tinggal si gadis, tiba-tiba si pemuda terkejut dan hendak melarikan diri sebab ia melihat seekor ular yang sangat besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahan si pemuda supaya tidak melarikan diri. Sesaat kemudian tampak pula olehnya burung yang dikejar-kejarnya tadi sedang bertengger di dekat ular yang besar itu.

Si pemuda terkejut kembali ketika dia mendengar ular besar itu berkata-kata mempersilakan masuk, gadis itu lalu membawa si pemuda masuk. Tak lama kemudian, si gadis menghidangkan berbagai macam buah-buahan untuk si pemuda. Karena ular besar dan burung itu terus memperhatikan si pemuda maka ia menjadi kebingungan. Melihat hal itu si gadis lalu menjelaskan kepada si pemuda bahwa ular besar itu adalah ibunya, dan burung yang berwarna-warni bulunya itu adalah ayahnya. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar mengejarnya sampai ke tempat si gadis. Mendengar penjelasan gadis itu, si pemuda bertanya mengapa ayahnya yang berupa burung itu berbuat demikian. Si gadis menjelaskan bahwa kedua orang tuanya ingin agar ia kawin dengan si pemuda. Mendengar hal itu si pemuda sangat terkejut, kemudian si gadis bertanya apakah si pemuda bersedia memenuhi keinginan kedua orang tuanya itu. Si pemuda mengatakan bahwa ia bersedia.

Setelah pemuda yang bermarga purba itu mengawini si gadis, kedua orang tua istrinya lalu menganjurkan mereka agar pergi mencari dan menetap di perkampungan manusia. Tak lama kemudian pergilah mereka mencari perkampungan. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya sampailah mereka ke satu kampung yang bernama Kaban. Kampung itu dihuni orang Karo bermarga Sinukaban dan Ketaren. Orang-orang di kampung itu menerima keduanya dengan suka rela dan menganjurkan mereka agar menemui kepala kampung untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.

Setelah mereka bertemu dengan kepala kampung, mereka kemudian mohon izin agar diperkenankan mendirikan rumah di perkampungan tersebut. Mendengar permohonan itu, kepala kampung menyetujui dan menganjurkan agar mereka mendirikan rumah ke arah hilir kampung Kaban. Dalam bahasa Karo arah hilir disebut “njahe”. Sesuai dengan anjuran kepala kampung itu, pergilah mereka mendirikan rumah di njahe atau di arah hilir kampung Kaban.

Setelah mereka mendirikan rumah dan menetap di sana, lama kelamaan tempat itu berkembang menjadi kampung yang bernama Kaban Jahe. Mereka kemudian memperoleh enam anak lelaki (dilaki) dan satu anak perempuan (diberu). Keenam putranya itu disebut Purba Si Enam, dari merekalah berkembang marga Purba di Tanah Karo yang kemudian menggabungkan diri ke dalam marga Karo-Karo. Dari keturunan marga Purba yang beristerikan ular ini kemudian melahirkan marga Sekali, Sinuraya, Sinuhaji, Jong, Sikemit, Samura, dan Bukit. Sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa. Sinuraya dan Sinuhaji mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat yakni Aji Jahe, Aji Mbelang, dan Ujung Aji. Jong dan Kemit mendirikan kampung Mulawari. Adapun marga Samura mendirikan kampung Samura dan Bukit mendirikan kampung Bukit.
Hingga kini mereka yang tergolong sebagai marga Purba tidak boleh mengganggu atau membunuh ular, karena mereka sangat percaya bahwa nenek moyang mereka yang perempuan adalah keturunan ular.

Versi lain menyatakan Purba juga memperisterikan seorang puteri umang, dari hasil perkawinan keduanya menurunkan marga Purba (sebagaimana ayahnya), Ketaren, dan Sinukaban. Marga Purba ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata. Menurut riwayat dahulu merga Karo-Karo Purba memakai merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Budayawan Karo, M.Purba mengatakan, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Maler

2 komentar:

  1. ok budaya karo.....maju tersus ok.....

    BalasHapus
  2. Terima Kasih Untuk Blog nya.. saya jadi semakin lebih tau tentang Budaya Karo .. Bujur Melala..

    BalasHapus