Laman

Rabu, 28 April 2010

LAU KAWAR

Danau Kawar / Lau Kawar merupakan salah satu obyek wisata yang ada di Kabupaten Karo dengan luas lebih kurang 100 hektar. Jaraknya dari kota Medan lebih kurang 85 Km. Dulu objek wisata ini setiap hari sabtu dan Minggu serta hari-hari libur ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik dan manca negara, tapi 10 tahun terakhir ini kelihatannya sudah kurang terawat dan jarang dikunjungi oleh para wisatawan kata Kristian Sukatendel mengomentari keadaan Danau Lau Kawar kebanggan masyarakar Karo ini.

Konon menurut ceritanya, Danau Lau Kawar ini berasal dari lokasi sebuah perkampungan yang namanya Kawar. Penduduk desa yang pada umumnya bekerja sebagai petani sebagaimana dengan warga lainnya di Tanah Karo.

Hasil pertanian masyarakat selalu berlimpah ruah karena Tanahnya cukup subur. Para petani tidka ada memakai pupuk atau obat-obatan seperti sekarang.

Singkat cerita, tibalah musim panen padi. Seluruh warga gembira melihat hasilnya menguning bernas. Demikian juga tentunya kepala desa lau Kawar memiliki kebahagiaan tersendiri mengingat ladangnya cukup luas. Apa yang diharapkan penghulu desa selama ini ternyata
telah dikabulkan Tuhan pada tahun itu. Sebagai ucapan syukur kepada Tuhan maka penghulu Desa Kawar menyelenggarakan pesta Gendang Guro-guro aron di ladang tersebut selama empat hari-empat malam. Seluruh warga di undang berpesta pora yang luar biasa meriahnya.

Dapat dimaklumi, karena yang mengundang adalah penghulu desa maka tidak ada seorangpun yang berani menolak kecuali seorang wanita karena telah lanjut usia dan dia sendiri adlah ibu kandung dari pada penghulu Desa Kawar yang menyelenggarakan pesta yang meriah selama empat hari empat malam suntuk itu. Wanita tersebut tinggal sendirian di rumah, seluruh anak dan cucunya pergi. Bertalu-talu sayup-sayup suara gendang sesekali terdengar dari tempat wanita itu terbaring. Sekitar pukul satu siang acara menari di berhentikan karena tiba waktu makan siang. Penghulu dan warga desa seluruhnya makan dengan lauk pauk yang cukup mewah dan berkelimpahan. Lembu dan kambing serta babi dan ayam khusus dipotong semua kenyang puas dan gembira . Ini baru hari pertama

Setelah istirahat sebentar, acara menari dan menyanyipun dilanjutkan kembali dengan dipandu anak beru penghulu desa. Anehnya saat manari menjelang sore penghulu desa memanggil anak yang masih kecil dan lugu, rupanya dia teringan ibunya yang tertinggal sendirian dirumah belum ada yang mengantar nasi untuk makan siang.
Nasi dengan lauk pauk yang cukup dipersiapkan. Anak penghulu yang masih lugu dan kecil tadi disuruh mengantarkannya kerumah neneknya. Namun nasib malang lagi menimpa si nenek, sudah tidak diingat
mengantar nasi pada waktunya, malah nasi yang diantar cucunya
ditengah jalan bungkusannya di buka serta seluruh daging lembu, kambing, ayam, dan babi dimakan serta tulang belulangnya kemabali dimasukkan sang cucu kedalam bungkusan dan dikemas kembali seperti semula.

Sekalipun nasi untuk makan siang menjelang sore baru tiba ternyata baru tiba ternyata sang nenek masih mampu tersenyum melihat sang cucu datang membawa bungkusan. Begitu bungkusan di terima,si cucupun terus kembali menuju lading. Wanita tua inipun dengan susah payah bangun dari pembaringan agar segera makan.Begitu bungkusan di buka si nenekpun begitu terkejut karena yang ada didalam hanya tulang belulang.

Lama si nenek tercengang menatap bungkusan itu, tak sadar air matanyapun jatuh membasahi pipinya yang sudah keriput. Malang memang nasib si nenek. Anak seorang penghulu yang disegani namun dirinya sampai melupakan ibunya yang sejak kecil mangasuh, membesarkan dan membimbing. Hati nurani nenekpun memberontak tak terbendung lagi. Dia menangis terisak,bersumpah sembari memeras air susunya " aku yang melahirkan dan membesarkan engkau , engkau telah mendapt kedudukan terhormat ternyata engkau tidak dapat menghormati orangtua sendiri, air susu ini menjadi saksi anakku, untuk itu aku bersumpah tiada henti, tiada putus asa sembari air mata terus mengalir di pipi dan memeras air mata terus mengalir di pipi dan memeras air susunya. Tak lama kemudian sumpah nenek yang malang itupun terkabul, embun gelap mulai menutup langit seakan hari mulai malam. Kilat dan guntur bergemuruh sambung menyambung. Seluruh warga yang berpesta meriah mulai panik, terlebih-labih hujan mulai turun dengan derasnya.Pestapun mulai bubar seketika ,seluruh penduduk lari mencari tempat berteduh.

Hujan tiada mau peduli, selama tujuh hari-tujuh malam deras tiada hentinya, air bah pun terjadi.Desa kawar yang persis terletak di bawah gunung Kaki sinabung itupun tenggelam. Seluruh harta benda tidak ada yang terselamatkan. Desa Kawar telah berubah wujud menjadi sebuag danau, yang sekarang disebut dengan Danau Lau Kawar.

PUTRI HIJAU

MENURUT cerita, pada zaman dahulu tepatnya pada tahun 1612 lalu, berdirilah sebuah Kerajaan yang bernama Aru Baru, (sekarang Deli Tua).

Kerajaan ini dipimpin oleh tiga bersaudara Mambang Diyazid, Putri Hijau dan Mambang Sakti (Khayali). Ketika itu, Putri Hijau dilamar oleh petinggi kerajaan Aceh yang pada masa itu kerajaan Aceh tersebut dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda.

Namun, lamaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh pihak Kerajaan Aru Baru. Akhirnya penolakan itu pun berbuntut peperangan hebat. Kekalahan pun terjadi di pihak Kerajaan Aru Baru.

Pada saat bersamaan dengan kekalahan itu, sebuah meriam buatan Portugis terus menerus meletus tiada hentinya. Uniknya, tiada pula satu orang pun yang menyalakan meriam tersebut.

Karena terus menerus meletus dan terasa kian panas, akhirnya meriam itupun pecah, yang salah satu pecahannya tercampak hingga ke Tanah Karo. Dan sampai saat ini masih berada di Tanah Karo.

"Berdasarkan cerita, roh Mambang Sakti menitis ke dalam tubuh meriam buatan Portugis itu. Makanya meriam itu terus menerus meletus hingga akhirnya pecah dan kemudian diberi julukan meriam puntung," kata juru kunci meriam puntung itu.

Sementara Putri Hijau, dikabarkan menghilang dibawa oleh abangnya Mambang Diyazid yang dikabarkan karena kesaktiannya berubah menjadi seekor naga yang sampai kini tidak diketahui keberadaannya.

Mengenai kisah meriam puntung ini selanjutnya, sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Aru Baru yang sudah takluk, panglima kerajaan Aceh senantiasa membawa meriam puntung tersebut dan kemudian dijadikan kenang-kenangan perang.

Hingga panglima perang Aceh itupun akhirnya berhasil mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Kerajaan Deli. "Hingga kini banyak orang yang menganggap meriam puntung itu keramat," cetus juru kunci.

Malah, suatu malam meriam puntung itu pernah membuat keajaiban. Tepatnya 5 November 1995 sekira pukul 02.00 pagi. Ketika itu, meriam itu keluar dari tempat persemayamannya. Dan tidak diketahui keluar dari mana. "Soalnya, tempat persemayaman itu dikunci. Sementara jerjak ruangan tidak ada yang rusak," kata juru kunci itu bernada tak kalah heran.

Akhirnya, meriam puntung yang sudah tergeletak di tengah jalan di depan lokasi persemayamannya itu dibawa masuk kembali oleh para kerabat istana Maimon.

"Yang pertama mengetahui tukang becak yang kebetulan mengantarkan salah seorang kerabat kesultanan deli," bebernya sembari mengatakan setidaknya ada 10 orang yang mengangkat meriam itu kembali ke persemayamannya.

"Karena itulah, sebagian orang meyakini dalam meriam itu menitis roh Mambang Sakti. Kalau tidak, kenapa pada zaman dahulu meriam itu bisa meletus terus menerus tanpa ada yang menyalakannya," tandasnya.

Berkaitan dengan keberadaan tiga bersaudara yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan kesultanan deli itu, pihak kerabat kesultanan deli mengaku tidak tahu persis tentang dan bagaimana keberadaan ketiganya. Hanya saja, kenyataan dan fakta-fakta sejarah seperti pemandian Putri Hijau yang berada di daerah Pama, Deli Tua merujuk jika ketiganya pernah ada.

"Memang jika mendengar cerita ini seperti percaya tidak percaya. Dan seperti sebuah legenda saja layaknya. Namun, ketika ada yang bilang cuma legenda, secara magis mereka itu memang benar-benar menunjukkan diri. Tentunya rohnya," cetus kerabat kesultanan deli itu.

Hal ini dikuatkan dengan kejadian yang menimpa salah seorang yang pernah menyepelekan cerita tentang tiga bersaudara itu.

"Salah seorang dari ketiga bersaudara itu datang dan marah terhadap orang yang sudah menyepelekan keberadaan mereka," kata kerabat istana Maimon itu dengan mimik serius sembari mengaku merasa merinding saat menceritakan hal ini.

SEJARAH MARGA SILIMA

Mejuah-juah kita kerina!

Sebenarnya rada males nulis, sih, tentang budaya Karo soalnya gw secara pribadi juga gak terlalu ngerti banyak (meski kepengen belajar juga). Tapi iseng-iseng aja ikutan si Igor yang sering nulis soal Budaya Batak, makanya gw ikut-ikutan aja nulis tentang Budaya Karo :P .
Batak sama Karo beda ya? Sebenarnya kurang tau juga beda atau enggak, tapi kalau liat konteks, biasanya yang dipanggil dengan Batak itu biasanya orang Batak Toba. Karo sendiri sebenarnya sering disebut dengan Batak Karo. Yah, tapi gak apa-apa lah, sebut Karo aja :P (keukeuh)

Ue lah, ini sedikit sejarah dan legenda tentang marga/beru yang ada dan terus melekat pada orang-orang Karo yang diteruskan turun-temurun dan disadur oleh banyak orang menjadi beberapa sumber yang mana akhirnya gw copy paste ke blog ini dan disajikan untuk anda baca sebagai iseng-iseng atau sekalian menambah wawasan tentang Budaya Karo. Sekalian sama-sama belajar, soalnya gw juga gak berapa ngerti :mrgreen:
Semuanya disadur dari sini

Selamat membaca

Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo. 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian merga didasarkan pada Merga Silima, yaitu ;

  1. Ginting
  2. Karo-Karo
  3. Peranginangin
  4. Sembiring
  5. Tarigan

Sementara Sub Merga, dipakai di belakang Merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian Merga dan Sub Merga tersebut.

Adapun Merga dan Sub Merga serta sejarah, legenda, dan ceritanya adalah sebagai berikut

  1. Merga Ginting

    Merga Ginting terdiri atas beberapa Sub Merga seperti :

    • Ginting Pase

      Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munthe. Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan Simalungun. Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Cerita Lisan Karo mengatakan bahwa anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat di telaah cerita tentang Beru Ginting Pase. (Petra : Bisa dibaca di sini)

    • Ginting Munthe

      Menurut cerita lisan Karo, Merga Ginting Munthe berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune.

    • Ginting Manik

      Ginting Manik menurut cerita masih saudara dengan Ginting Munthe. Merga ini berasal dari Tongging terus ke Aji Nembah, ke Munthe dan Kuta Bangun. Merga Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba.

    • Ginting Sinusinga
    • Ginting Seragih

      Menurut J.H. Neumann (Nuemann 1972 : 10), Ginting Seragih termasuk salah satu merga Ginting yang tua dan menyebar ke Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi.

    • Ginting Sini Suka

      Menurut cerita lisan Karo berasal dari Kalasan (Pak-Pak), kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo dan kemudian ke Guru Benua, disana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting (Petra : bacanya Sembilan Satu Ginting), yakni :

      • Ginting Babo
      • Ginting Sugihen
      • Ginting Guru Patih
      • Ginting Suka (ini juga ada di Gayo/Alas)
      • Ginting Beras
      • Ginting Bukit (juga ada di Gayo/Alas)
      • Ginting Garamat (di Toba menjadi Simarmata)
      • Ginting Ajar Tambun
      • Ginting Jadi Bata

      Kesembilan orang merga Ginting ini mempunyai seorang saudara perempuan bernama Bembem br Ginting, yang menurut legenda tenggelam ke dalam tanah ketika sedang menari di Tiga Bembem atau sekarang Tiga Sukarame, kecamatan Munte.

    • Ginting Jawak

      Menurut cerita Ginting Jawak berasal dari Simalungun. Merga ini hanya sedikit saja di daerah Karo.

    • Ginting Tumangger

      Marga ini juga ada di Pak Pak, yakni Tumanggor.

    • Ginting Capah

      Capah berarti tempat makan besar terbuat dari kayu, atau piring tradisional Karo. (Petra : Which is saya juga belum tahu yang mana, atau tahu tapi gak tau sebutannya :P )

  2. Merga Karo-Karo

    Merga Karo-Karo terbagi atas beberapa Sub Merga, yaitu :

    • Karo-Karo Purba

      Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun. Dia disebutkan beristri dua orang, seorang puteri umang dan seorang ular.
      Dari isteri umang lahirlah merga-merga :

      • Purba

        Merga ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata.

      • Ketaren

        Dahulu merga Karo-Karo Purba memakai nama merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Menurut budayawan Karo, M.Purba, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Maler (referensi K.E. Ketaren).

      • Sinukaban

        Merga Sinukaban ini sekarang mendiami kampung Kaban..

      Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga :

      • Karo-Karo Sekali

        Karo-Karo sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa.

      • Sinuraya/Sinuhaji

        Merga ini mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat, yakni Aji Jahe, Aji Mbelang dan Ujung Aji.

      • Jong/Kemit

        Merga ini mendirikan kampung Mulawari.

      • Samura
      • Karo-Karo Bukit

      Kelima Sub Merga ini menurut cerita tidak boleh membunuh ular. Ular dimaksud dalam legenda Karo tersebut, mungkin sekali menggambarkan keadaan lumpuh dari seseorang sehingga tidak bisa berdiri normal.

    • Karo-Karo Sinulingga

      Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak, disana mereka telah menemui Merga Ginting Munthe. Sebagian dari Merga Karo-Karo Lingga telah berpindah ke Kabupaten Karo sekarang dan mendirikan kampung Lingga.
      Merga ini kemudian pecah menjadi sub-sub merga, seperti :

      • Kaban

        Merga ini mendirikan kampung Pernantin dan Bintang Meriah,

      • Kacaribu

        Merga ini medirikan kampung Kacaribu.

      • Surbakti

        Merga Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Merga ini juga kemudian sebagian menjadi Merga Torong.

      Menilik asal katanya kemungkinan Merga Karo-karo Sinulingga berasal dari kerajaan Kalingga di India. Di Kuta Buloh, sebagian dari merga Sinulingga ini disebut sebagai Karo-Karo Ulun Jandi. Merga Lingga juga terdapat di Gayo/Alas dan Pak Pak.

    • Karo-Karo Kaban

      Merga ini menurut cerita, bersaudara dengan merga Sinulingga, berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak dan menetap di Bintang Meriah dan Pernantin.

    • Karo-Karo Sitepu

      Merga ini menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba) kemudian berpindah ke si Ogung-Ogung, terus ke Beras Tepu, Naman, Beganding, dan Sukanalu. Merga Sitepu di Naman sebagian disebut juga dengan nama Sitepu Pande Besi, sedangkan Sitepu dari Toraja (Ndeskati) disebut Sitepu Badiken. Sitepu dari Suka Nalu menyebar ke Nambiki dan sekitar Sei Bingai. Demikian juga Sitepu Badiken menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.

    • Karo-Karo Barus

      Merga Karo-Karo barus menurut cerita berasal dari Baros (Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya Sibelang Pinggel (atau Simbelang Cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga Karo-Karo Barus mengungsi ke Karo karena diusir kawan sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena mengawini impal merga Purba yang disebut Piring-piringen Kalak Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.

      (Petra : Wuih, sejarah nenek moyang gw jelek juga, ya….)

    • Karo-Karo Manik

      Di Buluh Duri Dairi (Karo Baluren), terdapat Karo Manik.

  3. Merga Peranginangin

    Merga Peranginangin terbagi atas beberapa sub merga, yakni :

    • Peranginangin Sukatendel

      Menurut cerita lisan, merga ini tadinya telah menguasai daerah Binje dan Pematang Siantar. Kemudian bergerak ke arah pegunungan dan sampai di Sukatendel. Di daerah Kuta Buloh, merga ini terbagi menjadi :

      • Peranginangin Kuta Buloh

        Mendiami kampung Kuta Buloh, Buah Raja, Kuta Talah (sudah mati), dan Kuta Buloh Gugong serta sebagian ke Tanjung Pura (Langkat) dan menjadi Melayu.

      • Peranginangin Jombor Beringen

        Merga ini mendirikan, kampung-kampung, Lau Buloh, Mburidi, Belingking,. Sebagian menyebar ke Langkat mendirikan kampung Kaperas, Bahorok, dan lain-lain.

      • Peranginangin Jenabun

        Merga ini juga mendirikan kampong Jenabun,. Ada cerita yang mengatakan mereka berasal dari keturunan nahkoda (pelaut) yang dalam bahasa Karo disebut Anak Koda Pelayar. Di kampung ini sampai sekarang masih ada hutan (kerangen) bernama Koda Pelayar, tempat pertama nahkoda tersebut tinggal.

    • Peranginangin Kacinambun

      Menurut cerita, Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun.

    • Peranginangin Bangun

      Alkisah Peranginangin Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi suatu peristiwa yang dihubungkan dengan Guru Pak-pak Pertandang Pitu Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu anjing (kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen. Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang.
      Merga ini juga pecah menjadi :

      • Keliat

        Menurut budayawan Karo, Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe, sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.

      • Beliter

        Di dekat Nambiki (Langkat), ada satu kampung bernama Beliter dan penduduknya menamakan diri Peranginangin Beliter. Menurut cerita, mereka berasal dari merga Bangun. Di daerah Kuta Buluh dahulu juga ada kampung bernama Beliter tetapi tidak ditemukan hubungan anatara kedua nama kampung tersebut. Penduduk kampung itu di sana juga disebut Peranginangin Beliter.

    • Peranginangin Mano

      Peranginangin Mano tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano sekarang berdiam di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong.

    • Peranginangin Pinem

      Nenek moyang Peranginangin Pinem bernama Enggang yang bersaudara dengan Lambing, nenek moyang merga Sebayang dan Utihnenek moyang merga Selian di Pakpak.

    • Sebayang

      Nenek Moyang merga ini bernama Lambing, yang datang dari Tuha di Pak-pak, ke Perbesi dan kemudian mendirikan kampung Kuala, Kuta Gerat, Pertumbuken, Tiga Binanga, Gunung, Besadi (Langkat), dan lain-lain. Merga Sembayang (Sebayang) juga terdapat di Gayo/Alas.

    • Peranginangin Laksa

      Menurut cerita datang dari Tanah Pinem dan kemudian menetap di Juhar.

    • Peranginangin Penggarun

      Penggarun berarti mengaduk, biasanya untuk mengaduk nila (suka/telep) guna membuat kain tradisional suku Karo.

    • Peranginangin Uwir
    • Peranginangin Sinurat

      Menurut cerita yang dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.

    • Peranginangin Pincawan

      Nama Pincawan berasal dari Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan.

    • Peranginangin Singarimbun

      Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo, Seh Ate br Brahmana, berasal dari Simaribun di Simalungun. Ia pindah dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung Rimbun (Tanjong Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket.

    • Peranginangin Limbeng

      Peranginangin Limbeng ditemukan di sekitar Pancur Batu. Merga ini pertama kali masuk literatur dalam buku Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH berjudul Sejarah dan Kebudayaan Karo.

    • Peranginangin Prasi

      Merga ini ditemukan oleh Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH di desa Selawang-Sibolangit. Menurut budayawan Karo Paulus Keliat, merga ini berasal dari Aceh, dan disahkan menjadi Peranginangin ketika orang tuanya menjadi Pergajahen di Sibiru-biru

LEGENDA MARGA PURBA KARO

Menampilkan satu-satunya kiriman.
Masrul Purba Dasuha Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Di kawasan Berastagi di Tanah Karo terdapat satu tempat yang dinamakan Buluh Duri, di tempat itu terdapat tujuh mata air. Menurut cerita yang berkembang, tempat yang bernama Buluh Duri itu pada zaman dahulu merupakan tempat pembuangan seorang putra raja. Alkisah pada masa itu, di daerah Simalungun yang berbatasan dengan Tanah Karo terdapat sebuah kerajaan dengan rajanya bermarga Purba. Semenjak putra bungsunya lahir, Raja ini sering mengalami sakit-sakitan, banyak dukun yang sudah mengobatinya tetapi penyakit raja ini tak juga kunjung sembuh. Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk mengobatinya.

Dengan menggunakan kesaktian mereka para guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa putra bungsu raja itulah sumber penyakit dan malapetaka selama ini. Untuk menghindarkan malapetaka itu, maka putra bungsu harus dibuang.

Untuk itu, mereka lalu pergi membawa putra bungsu Raja Purba yang sudah beranjak remaja jauh ke tengah hutan belantara. Di dalamnya, mereka kemudian membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal putra raja itu. Setelah gubuk selesai didirikan, Para guru Pakpak lantas meninggalkan putra raja itu sendirian. Tetapi ketika mereka akan pergi, para guru Pakpak ini lebih dahulu memberikan panah, pedang, dan pisau kepada putra Raja Purba itu. Setelah itu mereka menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu muncullah tujuh mata air bening. Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk itu. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal dengan nama Buluh Duri.

Setelah beberapa tahun putra Raja Purba tinggal di tempat Pembuangannya, di tengah hutan belantara, tumbuhlah dia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Pada suatu hari, dia pergi berburu, dalam perburuan dia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni. Iapun mengejar burung itu untuk menangkapnya, tapi burung itu terus terbang, ke mana saja burung itu terbang terus dikejarnya. Ketika sedang mengejar burung itu, ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan rambutnya yang terurai panjang. Si pemuda sangat terkejut dan heran melihat gadis cantik itu berada sendirian di tengah hutan. Di samping itu, dia merasa gembira pula karena sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah bertemu dengan manusia lain. Dengan hati berdebar-debar, dihampirinya gadis cantik itu. Sambil tersenyum gadis itu menanyakan apa maksud kedatangannya ke tempat itu. Mendengar pertanyaan gadis cantik itu si pemuda kemudian menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu hendak menangkap seekor burung. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Semua pertanyaan gadis itu dijawab oleh si pemuda. Dengan demikian tahulah si gadis bahwa si pemuda berasal dari daerah Simalungun, dan putra raja bermarga Purba.

Setelah lama bercakap-cakap berduaan, akhirnya si gadis mengajak si pemuda pergi bersama-sama ke tempat tinggalnya. Si pemuda menerima ajakannya itu dan mereka lalu pergi menuju tempat tinggal si gadis. Ternyata tempat tinggalnya di dalam sebuah gua besar. Letaknya tidak begitu jauh dari mata air tempat gadis itu ditemukan si pemuda.

Beberapa saat setelah mereka memasuki gua tempat tinggal si gadis, tiba-tiba si pemuda terkejut dan hendak melarikan diri sebab ia melihat seekor ular yang sangat besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahan si pemuda supaya tidak melarikan diri. Sesaat kemudian tampak pula olehnya burung yang dikejar-kejarnya tadi sedang bertengger di dekat ular yang besar itu.

Si pemuda terkejut kembali ketika dia mendengar ular besar itu berkata-kata mempersilakan masuk, gadis itu lalu membawa si pemuda masuk. Tak lama kemudian, si gadis menghidangkan berbagai macam buah-buahan untuk si pemuda. Karena ular besar dan burung itu terus memperhatikan si pemuda maka ia menjadi kebingungan. Melihat hal itu si gadis lalu menjelaskan kepada si pemuda bahwa ular besar itu adalah ibunya, dan burung yang berwarna-warni bulunya itu adalah ayahnya. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar mengejarnya sampai ke tempat si gadis. Mendengar penjelasan gadis itu, si pemuda bertanya mengapa ayahnya yang berupa burung itu berbuat demikian. Si gadis menjelaskan bahwa kedua orang tuanya ingin agar ia kawin dengan si pemuda. Mendengar hal itu si pemuda sangat terkejut, kemudian si gadis bertanya apakah si pemuda bersedia memenuhi keinginan kedua orang tuanya itu. Si pemuda mengatakan bahwa ia bersedia.

Setelah pemuda yang bermarga purba itu mengawini si gadis, kedua orang tua istrinya lalu menganjurkan mereka agar pergi mencari dan menetap di perkampungan manusia. Tak lama kemudian pergilah mereka mencari perkampungan. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya sampailah mereka ke satu kampung yang bernama Kaban. Kampung itu dihuni orang Karo bermarga Sinukaban dan Ketaren. Orang-orang di kampung itu menerima keduanya dengan suka rela dan menganjurkan mereka agar menemui kepala kampung untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.

Setelah mereka bertemu dengan kepala kampung, mereka kemudian mohon izin agar diperkenankan mendirikan rumah di perkampungan tersebut. Mendengar permohonan itu, kepala kampung menyetujui dan menganjurkan agar mereka mendirikan rumah ke arah hilir kampung Kaban. Dalam bahasa Karo arah hilir disebut “njahe”. Sesuai dengan anjuran kepala kampung itu, pergilah mereka mendirikan rumah di njahe atau di arah hilir kampung Kaban.

Setelah mereka mendirikan rumah dan menetap di sana, lama kelamaan tempat itu berkembang menjadi kampung yang bernama Kaban Jahe. Mereka kemudian memperoleh enam anak lelaki (dilaki) dan satu anak perempuan (diberu). Keenam putranya itu disebut Purba Si Enam, dari merekalah berkembang marga Purba di Tanah Karo yang kemudian menggabungkan diri ke dalam marga Karo-Karo. Dari keturunan marga Purba yang beristerikan ular ini kemudian melahirkan marga Sekali, Sinuraya, Sinuhaji, Jong, Sikemit, Samura, dan Bukit. Sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa. Sinuraya dan Sinuhaji mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat yakni Aji Jahe, Aji Mbelang, dan Ujung Aji. Jong dan Kemit mendirikan kampung Mulawari. Adapun marga Samura mendirikan kampung Samura dan Bukit mendirikan kampung Bukit.
Hingga kini mereka yang tergolong sebagai marga Purba tidak boleh mengganggu atau membunuh ular, karena mereka sangat percaya bahwa nenek moyang mereka yang perempuan adalah keturunan ular.

Versi lain menyatakan Purba juga memperisterikan seorang puteri umang, dari hasil perkawinan keduanya menurunkan marga Purba (sebagaimana ayahnya), Ketaren, dan Sinukaban. Marga Purba ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata. Menurut riwayat dahulu merga Karo-Karo Purba memakai merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Budayawan Karo, M.Purba mengatakan, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Maler

LEGENDA PUTRI HIJAU

salam semuanya, salam kenal dari saya, putri hijau merupakan legenda sumatra bagian utara, tepatnya bermula dari dtaran tinggi tanah karo, dahulu kala hiduplah seorang pemburu di suatu desa yang bernama desa suka nalu, pemburu ini bermarga sembiring dan semua yang ada di desa itu bermarga sembiring, pada suatu hari pemburu ini berangkat ke hutan dan melewati rumpun bambu dengan membawa beberapa ekor anjing untuk membantu si pemburu dalam menagkap binatang buruannya, tiba-tiba anjing pemburu ini menggonggong dan arah gonggongan anjing itu semuanya tertuju pada rebung bambu atau dalam bahasa yang mudah di mengerti adalah anak bambu yang masih sangat kecil, pemburu itupun merasa heran mengapa emua anjingnya menggonggong kepada anak bambu tersebut? namun pada hari itu dia tidak begitu menghiraukan kejadian itu, dan keesok harinya dan demikian juga dengan hari-hari berikutnya setiap melewati rumpun bambu di pinggir desa anjingnya selalu menyalak dan menggonggong anak bambu tersebut.
pemburu ini semakin penasaran dan suatu hari dia memotong anak bambu itu dan di bawanya pulang, kemudian di letakkan di atas para-para(di tempat penyimpanan kayu bakar)setelah pemburu itu membawa pulang anak bambu itu, kejadian aneh pun terjadi, setiap malam terdengarlah oleh pemburu itu suara anak bayi yang menagis, dan suara bayi itu datang dari tempat penyimpanan kayu, kemudian karena merasa aneh pemburu mengundang dukun kampung untuk menayakan apakah yang telah terjadi, mengapa di dapurnya setiap malam terdengar tangissan anak bayi? kemudian sang dukun mencari dan mencermati tempat penyimpanan kayu dan sang dukun sangat terkejut bukan kepalang, dengan pandangan batinya dia melihat sesosok tubuh anak bayi yang sangat mungil yang berada di dalam rebung bambu.
kemudian sang dukun membelah anak bambu tersebut kemudian mengeluarkan anak bayi yang ada di dalam bambu,ternyata bayi itu adalah bayi perempuan yang sangat cantik. pemburupun merasa senang bukan kepalang karena dia telah menikah dengan istrinya sudah hampir sepuluh tahun namun belum di karuniai seorang anakpun, kemudian mereka mengasuh dan membesarkan bayi tersebut.
setelah dewasa anak yang berasal dari anak bambu tersebut tumbuh menjadi gadis yang cantik, keluarga pemburupu merasa senang dan sangat bahagia, namun kebahagiaan itu tiba-tiba sirna karena kejadian yang sangat memalukan terjadi pada anak gadis mereka, anak gadis mereka ternyata telah hamil dan bila di tanya anak itu mengatakan tidak tahu siapa yang telah melakukan atau siapa yang telah bertanggung jawab, keluarga itupun merasa sedih dan berita itu segera tersebar ke penjuru desa.
sesuai dengan adat dan tradisi di desa itu bila ada yang hamil di luar nikah maka dia harus di hanyutkan ke dalam sungai, maka di hanyutkanlah sang gadis kedalam sungai,. sungai tempat gadis itu di hanyutkan adalah lau biang, dan hanyutlah sang gadis sampai ke desa seberaya dan gadis itu tersangkut ke dalam gua yang sekarang dinamakan gua pirikan dan masih ada sampai sekarang, di dalm gua itu si gadis melahirkan tiga orang bayi. dua orang wanita dan satu orang laki-laki, bayi yang pertama di beri nama mejile, yang kedua di beri nama,nipe dan yang ketiga piher, pada waktu ketiga bayi ini beranjak dewasa ibu mereka meninggal dunia dan tinggallah mereka bertiga di dalam gua,(cerita ini masih sangat panjang sedangkan malam sudah sangat larut bila ingin mengetahui cerita selanjutnya harap bersabar ok.)
kisah ini akan menceritakan bagaimana putri hijau mendapat nama putri hijau, siapa suaminya,dan mengapa sampai di deli tua dan perang dengan raja aceh, cerita ini akan sangat menarik bagi pembaca.
cerita ini benar-benar asli dan di dasari dengan fakta dan bukti-bukti

kesaktian guru diden arah tanah karo nari

Salah satu dari mereka berkata “Sebaiknya kita adu ilmu saja, kita bertujuh dengan guru dari Karo itu !“. Sontak salah satu orang yang ada di pertemuan itu sangat gusar. Saat itu memang sedang dilakukan sebuah pertemuan, sebuah pertemuan yang dilakukan secara mendadak. Bukan sembarang pertemuan. Tapi pertemuan yang dilakukan oleh tujuh orang-orang sakti di negeri Pakpak. Ketujuh orang sakti ini disebut warga sebagai Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Di negeri Pakpak mereka semua dikabarkan memiliki ilmu yang sangat tinggi, sangat sakti, sangat disegani dan bahkan juga sangat ditakuti. Tapi apa hendak mau dikata, mereka semua gusar saat mengetahui ada kabar berita yang katanya ada orang yang juga sangat sakti di negeri seberang sana. Seorang guru sakti di tanah Karo, Guru Diden namanya. Ketujuh Guru Pakpak Pitu Sedalanen ini merasa penasaran dan juga tersaingi. Karena berita kesaktian guru Karo ini dengan cepat tersebar luas, padahal lokasi tanah Karo dan negeri Pakpak sendiri bisa ditempuh dengan cara berjalan kaki selama berhari-hari.

Guru Diden, yang membuat penasaran dan gusar banyak orang, tinggal di desa Raja Tengah, Tanah Karo. Dia ditemani oleh seorang istri. Sudah banyak cerita mengenai kesaktian guru dari Karo ini. Ada yang mengatakan bila sang guru dapat mengobati segala macam penyakit, menolak bala dan kutukan, menguasai berbagai macam ilmu mistik hingga dapat meramal masa depan termasuk menentukan suatu hari itu baik atau buruk. Banyak penduduk di desa Raja Tengah yang mendengar wejangan dan arahan dari sang guru. Bila ada petani yang ingin menanam padi, sang guru dapat menentukan hari tanam yang baik. Termasuk juga mengusir hama maupun roh-roh jahat yang mengganggu petani mengolah sawahnya.

Kembali ke pertemuan orang-orang sakti di negeri Pakpak. Nampaknya para Guru Pitu Sedalenan sudah sangat “gatal”. Hingga akhirnya sebuah mufakat tercapai sudah. Mereka memutuskan sesegera mungkin berangkat ke Tanah Karo, dengan hanya satu tujuan. Menguji tingkat kesaktian sang Guru Diden. Siapa yang lebih sakti, guru dari Karo atau mereka bertujuh yang berasal dari Pakpak. Dengan kaki telanjang mereka berjalan kaki menempuh waktu berhari-hari dalam perjalanan menuju tanah Karo. Mereka bertujuh pun sepakat tidak akan membocorkan niat mereka untuk mengadu ilmu dengan Guru Diden, kepada siapapun yang mereka temui dalam perjalanan hingga sampai di Tanah Karo. Hasrat dan rasa penasaran yang meluap-luap kepada Guru Diden, seorang guru yang mereka dengar sangat sakti, meskipun mereka bertujuh belum pernah sama sekali bertemu dengan sosoknya.

Setelah menempuh waktu beberapa hari, meninggalkan kampung halamannya, menembus dinginnya pagi dan pekatnya malam. Maka tibalah Guru Pakpak Pitu Sedalenan di bumi Karo. Mereka tidak tahu bila perjalanan mereka sudah sampai di desa Raja Tengah, desa di mana sang Guru Diden yang mereka cari tinggal. Bahkan mereka pun tidak tahu bila orang yang berpapasan dengan mereka di jalan adalah Guru Diden. Guru Diden sendiri yang berpapasan dengan mereka tahu bila ketujuh orang yang baru dijumpainya ini bukan berasal dari kampungnya. Terlihat jelas olehnya, ketujuh musafir ini telah melakukan perjalanan yang panjang dan sangat kelelahan. Dengan ramah Guru Diden menegur mereka dan langsung mengundangnya untuk singgah ke rumahnya untuk sekedar melepaskan rasa letih dan dahaga. Jelas ketujuh guru sakti itu tak menampik tawaran yang ramah itu.

Tibalah mereka semua di rumah Guru Diden, rumah yang indah dan rindang yang juga banyak dikelilingi oleh banyak pohon-pohon kelapa. Pohon-pohon kelapa yang buahnya masih hijau, yang sangat mengundang selera. Karena sangat kehausan maka salah seorang dari guru Pakpak itu meminta agar tuan rumah memberikan kelapa muda untuk melepas haus dahaganya. “Tolonglah turunkan tujuh tandan kelapa muda itu. “ ujar salah satu dari mereka. Lantas sambil keheranan Guru Diden kembali bertanya “Untuk apa kelapa muda sampai tujuh tandan ? Tujuh buah saja cukup untuk kalian semua”. Mungkin karena mereka sangat kehausan, salah satu dari Guru Pakpak Pitu Sedalanen ngotot, “Tujuh buah tidak cukup untuk kami. Turunkanlah tujuh tandan, kami sangat haus.“

Malas untuk berdebat lagi, maka Guru Diden menuruti nafsu para tamunya. Diturunkanlah tujuh tandan kelapa muda itu dan dijamunya kelapa muda itu kepada ketujuh musafir yang tengah kehausan, merindukan berliter-liter air mengalir di tenggorokannya. Masing-masing musafir tersebut mendapatkan satu buah kelapa muda. Namun ternyata terjadi sebuah keanehan. Ketika air kelapa itu diminum ternyata tak satu pun dari mereka yang sanggup menghabiskan satu pun kelapa muda itu. Setiap air kelapa yang telah mereka minum ternyata bertambah kembali. Air kelapa tak habis-habis. Guru Pakpak Pitu Sedalenan pun bingung. Apa soal, ternyata pada saat itu Guru Diden sudah menggunakan kesaktiannya, sehingga air kelapa tak habis habis.

Saat mereka kebingungan, akhirnya berkatalah Guru Diden. “Tadi kan sudah kubilang, tujuh buah kelapa saja sudah cukup. Tapi kalian malah minta tujuh tandan.” Sambil berkata kesal Guru Diden pun berdiri dan menyepak semua kelapa muda yang belum sempat dilepaskan dari tandannya. Anehnya, kelapa itu melompat dan terbang melekat kembali pada tempatnya semula, pada pucuk pohon kelapa yang tinggi. Terkejutlah ketujuh tamu yang diundang, ternyata tuan rumah yang tengah menjamunya juga memiliki kesaktian. Setelah melihat ini, semakin banyak pula permintaan dari Guru Pitu Sedalanen. Mungkin karena penat dan kepanasan setelah menempuh perjalanan berhari-hari. Mereka pun meminta hujan, tak setengah hati Guru Diden pun menurunkan hujan yang sangat lebat. Bahkan hujan pun berhenti ketika saat malam tiba.

Hujan deras yang berhenti saat malam telah larut, yang akhirnya membuat Guru Diden menyarankan agar ketujuh tamunya ini menginap semalam, sebelum besok meneruskan perjalannya kembali. Sekali lagi para musafir jelas susah menolaknya. Namun lancang kali para Guru Pakpak Pitu Sedalanen, mereka kembali minta dijamu oleh tuan rumah. Tak tanggung-tanggung dimasakkan nasi dalam tujuh periuk nasi untuk mereka bertujuh. Masing-masing akan mendapatkan porsi satu periuk nasi. Sudah sangat malas Guru Diden bertanya dan berdebat kembali, dan sebagai tuan rumah yang baik dia meminta istrinya untuk segera memasakkan nasi dalam tujuh buah periuk itu.

Mungkin guru dari Karo ini juga kesal kok tidak jera-jeranya para tamunya ini. Namun tujuh nasi dalam tujuh periuk yang berbeda akhirnya disediakan. Tak ubahnya dengan air kelapa tadi maka berapa pun banyaknya nasi yang mereka makan keadaannya tak berkurang sedikit pun. Tak berubah jumlah butir-butir nasi yang mereka makan dengan posisi saat awal nasi dalam periuk disajikan. Pada saat ini beberapa dari Guru Pitu Sedalanen sudah merasa curiga jangan-jangan tuan rumah yang menjamu mereka ini adalah sosok yang sedang mereka cari, yaitu Guru Diden.

Setelah selesai bersantap makan malam, memakan nasi dari tujuh periuk yang nasinya tak habis-habisnya. Mereka saling ngobrol tentang kisah perjalanan dan niat mereka. Setelah mendengar niat dari Guru Pitu Sedalenan, Guru Diden dengan tenang namun tegas berkata, “Akulah Guru Diden yang sedang kalian cari itu. Kalau kalian memang mau mengadu kesaktian dengan aku, sebaiknya besok saja kita lakukan. Karena kalian sudah capek, sebaiknya kalian tidur dulu.“ Terkejutlah ketujuh musafir dari Pakpak ini. Saat hendak beranjak tidur pun mereka susah untuk memejamkan mata barang sedikit pun. Pikiran mereka semua berkelebat seperti apa pertarungan ilmu yang akan mereka lakukan esok harinya. Bayangkan saja kelapa ditendangnya bisa kembali ke pucuk pohon, hujan pun bisa diturunkannya. Kesaktian apa lagi yang akan ditunjukkan oleh Sang Guru Diden, si sakti dari dataran bumi Karo.

Hari yang ditunggu pun tiba. Saat surya “memanggil” dan setelah selesai bersantap makan pagi. Guru Diden mengajak para Guru Pakpak Pitu Sedalanen berjalan-jalan melihat keadaan di sekeliling desa, sampai berjalan menuju ke tempat yang paling tepat untuk beradu ilmu. Tibalah mereka di tempat itu. Guru Diden mengajak Guru Pakpak Pitu Sedalanen ke lokasi yang tanahnya terdapat tujuh lobang di atas tanah. Di dalam tujuh lobang itu terdapat tujuh buah telur ayam. Kemudian Guru Diden meminta agar ketujuh guru tersebut masing-masing mengambil telur yang terdapat di dalam lobang tersebut. Sambil tertawa, jelas ketujuh guru dari Pakpak ini kembali memandang enteng tantangan yang diberikan oleh Guru Diden. Dengan sigap dan ligat mereka masing-masing memasukkan tangannya ke dalam lobang dan berupaya mengambil telur ayam. Tapi apa yang terjadi, ternyata tangan mereka semua tidak bisa lepas kembali dari lobang tanah itu. Lobang di tanah itu tiba-tiba seperti mengecil dan mencengkram erat ketujuh tangan para guru-guru ini. Semakin berupaya mereka mengeluarkan tangannya, semakin erat pula cengkeraman lobang dari tanah itu. Akhirnya salah satu dari para guru Pakpak yang merupakan pemimpin mereka itu berteriak dan menjerit, “Guru Diden, kami bertujuh mengaku kalah. Kami mengakui kesaktianmu lebih hebat dari pada kami semua. Kami menyerah.”

Lantas apa kata Guru Diden. Dia hanya berkata dengan tenang dan perlahan,“ Aku hanya orang biasa saja. Dan aku tidak pernah bermaksud mengadu kesaktian dengan siapapun juga. Karena kesaktian dan ilmu tidak berarti apa apa.” Setelah berkata itu, sang guru pun memanggil seekor burung elang, dan menyuruh burung elang itu terbang ke negeri asal Guru Pakpak Pitu Sedalanen, jauh ke negeri Pakpak. Dengan maksud agar seluruh orang di negeri Pakpak diberitahu bila Guru Pitu Sedalenan sudah menyerah kalah ilmunya oleh Guru Diden. Dasar baik hatinya Guru Diden, maka atas perasaan yang tidak tega, akhirnya Guru Diden dengan kesaktiannya melepaskan ketujuh tangan guru yang telah menyerah tadi. Tapi apa yang terjadi, setelah ketujuh tangan itu tercabut. Tersemburlah air yang memancar sangat deras dari ketujuh lobang itu. Air terus menerus memancar dan mengalir. Kabarnya ketujuh mata air itu sampai sekarang masih terdapat di tanah Karo. Tempat yang orang-orang percayai pernah terjadinya adu ilmu antara Guru Diden dan Guru Pakpak Pitu Sedalanen

sejarah kiras bangun

Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852. penampilannya sederhana, berwibawa dengan gaya dan tutur bahasa yang simpatik. Masyarakat menamakan beliau Garamata yang bermakna “Mata Merah”. Masa mudanya ia sering pergi dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik.

Pemerintahan yang ada pada masa itu disebut pemerintahan Urung dan Kampung yang berdiri sendiri/otonomi. Jalannya roda pemerintahan dititikberatkan pada norma-norma adat. Tidak jarang pula terjadi sengketa antar Urung dan antar Kampung dengan motif berbagai macam persoalan.

Pihak-pihak yang bertikai, acap kali mengundang Garamata turut memecahkan persoalan. Dengan sikap jujur, berani dan bertanggung jawab Garamata bertindak tegas tetapi arif dan bijaksana, berlandaskan semboyan “Rakut Sitelu” (Kalimbubu, Sembuyak dan Anakberu) yang sudah membudaya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam bertindak beliau selalu berpegang teguh pada prinsip membenarkan yang benar, tidak berpihak, menyebabkan berbagai sengketa dapat diredakan secara damai yang memuaskan semua pihak. Simpati masyarakat tidak terbatas dikawasan Tanaha Karo saja, melainkan meluas sampai ke daerah tetangga seperti: Tanah Pinem Dairi, Singkil Aceh Selatan, Alas Gayo Aceh Tenggara, Langkat dan Deli Serdang. Hubungan dengan daerah–daerah tersebut terpelihara serasi, terlebih-lebih kegigihan perlawanan rakyat Aceh Selatan dan Aceh Tenggara terhadap penjajah Belanda, dikagumi dan dipantau secara berlanjut.

Latar Belakang Ekspansi Belanda ke Tanah Karo

Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.

Tanah Karo telah diketahui Belanda karena kerbau sebagai penarik kereta keperluan perkebunan diperoleh dari Tanah Karo. Disamping itu Binjai pada waktu itu telah menjadi kota yang didiami tuan-tuan kebun Belanda dimana banyak didatangi orang-orang Karo dari Karo Tinggi dan ada diantaranya yang bekerja sebagai pekerja kebun maupun mandor.

Kepopuleran Kiras Bangun/ Garamata telah diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu timbul keinginan Belanda menjalin persahabatan dengan Garamata agar dibenarkan memasuki Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan. Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata.

Tawaran Belanda demikian mengandung maksud-maksud tersembunyi yang sukar ditebak apalagi Tanah Karo tidaklah cukup luas untuk jadi perkebunan.

Timbulnya Permusuhan dengan Belanda

Utusan Belanda Nimbang Bangun telah bolak-balik dari Binjai ke Tanah Karo namun keinginan Belanda memasuki Tanah Karo tetap ditolak. Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo sebagai berikut:

Keinginan Belanda untuk bersahabat dengan rakyat Karo dapat diterima asal saling menghargai dan menghormati.

Keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo ditolak. Belanda tidak perlu campur dalam soal pemerintahan di Tanah Karo sebab rakyat Karo selama ini sudah dapat mengatur diri sendiri menurut peradatannya sendiri.

Keinginan Belanda masuk Tanah Karo diwujudkan pada tahun 1902, dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya ke Tanah Karo setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.

Garamata memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau berangkat. Kemudian Garamata bekerja sama dengan beberapa Urung berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe.

Sejak pengusiran itu timbullah puncak permusuhan dengan Belanda.

Menggalang Kekuatan

Perkembangan situasi yang sudah menegang disampaikan kepada tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan sebagai daerah tetangga yang sehaluan. Kemudian Garamata menugaskan beberapa orang untuk mengetahui informasi tentang keinginan Belanda ke Tanah Karo dengan dalih membuka perkebunan, yang merupakan tindakan memaksakan kehendaknya. Dari tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan ini diperoleh jawaban akan membantu Garamata.

Situasi yang berkembang di Tanah Karo sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan. Pertemuan Urung/Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana.

Melalui pertemuan Urung, Garamata dalam pengarahannya membentuk pasukan Urung dan mengadakan benteng pertahanan di tiap-tiap Urung. Persenjataan pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam jumlah terbatas) yang tersedia di Urung masing-masing. Dengan demikian upaya menghimpun kekuatan, mengobarkan semangat perlawanan gigih dan bersatu sembari kewaspadaan tidak dilengahkan merupakan tekad Garamata dan pengikut-pengikutnya yang setia.

Kenyataan membuktikan bahwa pertemuan Urung di Tiga Jeraya mampu mengerahkan ribuan orang pria dan wanita mengangkat “Sumpah setia melawan Belanda” yang pengucapannya dilakukan secara serempak yang menggemuruh. Pertemuan Urung dilakukan sebanyak 6 kali dan yang terbesar pertemuan Jeraya Surbakti.

Intervensi Belanda di Seberaya Membangkitkan Kemarahan Garamata

Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung dan pasukan Urung tewas 20 orang.

Perisitiwa berdarah di beberapa tempat merupakan petunjuk bagi tokoh Karo bahwa Belanda telah mulai menginjak-injak kedaulatan rakyat Karo. Kecurigaan Garamata demikian terbukti bahwa maksud kedatangan Belanda ke Tanah Karo adalah menjajah seperti di Langkat. Garamata memastikan bahwa perang pasti terjadi dan karena itu menugaskan beberapa orang ke Alas dan Gayo memperoleh bantuan sebagaimana disepakati setahun lalu.

Batukarang Jatuh

Karena kedudukan musuh di Kabanjahe maka disusun benteng pertahanan terdepan, yang merupakan garis pertahanan sepanjang jalan Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pucuk pimpinan (Pos Komando) Garamata berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara) untuk memudahkan pelaksanaan komando.

Ultimatum Garamata kepada Guillaume yang sudah menduduki Kabanjahe untuk kedua kalinya tidak mendapat tanggapan, bahkan mendatangkan marsuse Belanda lebih banyak lagi. Serdadu pengawalnya sudah diperkuat lagi dari sebelumnya.

Patroli-patroli Belanda menghadapi perlawanan pasukan Urung mengakibatkan terjadinya tembak-menembak. Dimaklumi memang bahwa daya tempur pasukan Simbisa/Urung terbatas pada tembak lari atau sergap “bacok lari”, kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Begitu pula benteng-benteng pertahanan dengan senjata pedang, parang, tombak, bedil locok dan senapang petuem yang terbatas tidak mendukung untuk bertahan lama. Adapun tembak-menembak terjadi tidak seimbang dan pihak Belanda memiliki senjata yang lebih mutakhir sedangkan di pihak Simbisa/Urung mempunyai senjata yang kalah jauh dari perlengkapan lawan.

Satu demi satu benteng pertahanan pasukan Simbisa/Urung dapat dikuasai musuh, seperti benteng pertahanan LIngga Julu, meminta korban jiwa, termasuk pimpinan pasukannya tewas tertembak. Sementara benteng pertahanan Kandibata yang dibantu pasukan dari Aceh Tenggara ditarik ke garis belakang. Benteng Mbesuka dan Tembusuh di Batukarang, (15/9/1904) dikuasai Belanda. Mujur atas dorongan para ibu dengan sorak sorai beralep-alep merupakan dorongan semangat tempur tetap tinggi. Pasukan Urung terpaksa membayar mahal dan tidak kurang dari 30 orang tertembak mati, seorang diantaranya perwira. Seusai pertempuran pasukan Urung menyingkir ke Negeri, 3 km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang yang bertebing terjal.

Negeri sebagai tempat menyingkir Garamata dan pasukannya jadi sasaran serangan mendadak oleh pasukan Belanda, seusai Batukarang diduduki, Nd. Releng br Ginting isitri Garamata menderita luka tembak sembari Garamata dan pasukannya menduduki Singgamanik dan sekitarnya.

Liren dan Sekitarnya Jadi Basis Perlawanan

Walaupun pasukan Simbisa/Urung sudah berpencar, keesokan harinya ditetapkan Kuala menjadi daerah tempat berkumpul. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran, maka pasukan Simbisa/Urung berangkat menuju Liren, Kuta Gamber, Kempawa, Pamah dan Lau Petundal sebagai basis pertahanan.

Dijelaskan bahwa daerah ini termasuk Dairi yang berbatasan dengan aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Tanah Karo. Medannya bergunung-gunung, lembah yang dalam dan terjal, kurang subur, berpenduduk jarang sehingga cocok menjadi basis gerillya tetapi lemah dalam dukungan logistik.

Sebagai daerah penyingkiran semua rencana diatur dari basis ini baik untuk kontak hubungan dengan daerah tetangga maupun mengganggu patroli-patroli Belanda yang secara rutin melewati Liren dan daerah sekitarnya.

Perang Gerilya

Garamata dalam pengarahannya kepada pasukan Simbisa/Urung membuat pesan dari pedalaman antara lain, teruskan perjuangan melawan Belanda dimana saja semampu yang dimiliki dengan motto: “namo bisa jadi aras, aras bisa jadi namo” (namo=lubuk, aras=arus air yang deras). Artinya sekarang kita kalah, besok kita menang.

Pada kesempatan lain Garamata berangkat ke Singkil dengan tujuan menemui teman seperjuangannya Sultan Daulat tetapi tidak ketemu. Tidak ada keterangan diperoleh selain Aceh Selatan dan Aceh Tenggara sudah dikuasai Belanda sehingga hubungan antara kedua pihak menjadi terputus. Perlu dijelaskan bahwa waktu hendak kembali ditengah jalan ketemu dengan marsuse Belanda, Garamata dapat mengelabuinya dengan menyamar sebagai pengail.

Dalam perjalanan pulang ke Lau Petundal, Garamata singgah di Lau Njuhar, tidak lama kemudian pasukan Belanda datang mengepung. Posisi Garamata dalam bahaya dan diatur bersembunyi dalam satu rumah.

Sementara itu Garamata dipersiapkan menyamar seperti seorang perempuan yang baru melahirkan dengan muka disemburi pergi kepancuran, dengan demikian loloslah Garamata dari serangan Belanda.

Opportinuteits Beginsiel

Pendudukan Belanda atas Batuk arang dengan mengerahkan sebanyak 200 orang marsuse Belanda bersenjata lengkap ternyata belum memulihkan keamanan. Patroli Belanda tetap mendapat perlawanan walau tidak secara frontal.

Betapapun usaha yang diupayakan untuk menangkap tokoh-tokoh Urung terutama Garamata tidak berhasil sehingga semua rencana Belanda memperkuat kedudukannya seperti membuka jalan dari Kabanjahe ke Alas, mengutip blasting, menjalankan roda pemerintahan selalu terganggu/tidak dapat dijalankan. Maka dikeluarkan opportinuteits beginsiel terhadap Kiras Bangun atau Garamata bersama pengikut-pengikutnya.

Mengingat banyaknya rakyat korban akibat tindakan marsuse Belanda yang semakin membabi buta seperti peristiwa di Kuta Rih disamping itu disadari bahwa pasukan tidak dapat bertahan lebih lama mengingat keadaan yang sudah parah, terutama disebabkan hubungan dengan Alas, Gayo, Singkil sudah tertutup, pada saat mana Belanda menawarkan opportinuteits maka Garamata bersama anak buahnya berunding untuk mengambil keputusan. Dengan pertimbangan prikemanusiaan dan untuk menghindari rakyat korban lebih banyak maka penawaran Belanda atas opportinuteits beginsiel diterima dengan berat hati dan bertekad untuk menyusun kekuatan sehingga pada suatu saat dapat bangkit kembali mengusir Belanda.

Ternyata Belanda tidak mentaati tawaran sendiri karena Garamata tetap dihukum dalam bentuk pengasingan di salah satu tempat di perladangan Riung selama 4 tahun.

legenda tuak dari tanah karo

Legenda Tuak (cerita dari Tanah Karo)

Tuesday, May 19, 2009, 10:09
diposting pada kategori SUHUTAN, U m u m. Ada 3 Komentar pembaca.

haltoBagot, dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren atau enau. Sugar Palm, Aren Palm atau Gomuti Palm dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Jawa disebut pohon aren, orang Sunda menyebut enau atau kawung. Di pulau Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, diantaranya, nau atau enau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah pantai s/d 1400 meter dpl (= diatas permukaan laut). Tumbuhan ini masuk dalam spesies Arenga pinnata.

Tumbuhan ini terdapat di Asia Tenggara sampai Papua bagian Timur, Jepang (Pulau Ryukyu), Vietnam (Annam) dan Himalaya Timur.

Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak (nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi masyarakat Batak di Sumatera Utara.

belulukTumbuhan ini terdapat di Asia Tenggara sampai Papua bagian Timur, Jepang (Pulau Ryukyu), Vietnam (Annam) dan Himalaya Timur.
Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak (nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi masyarakat Batak di Sumatera Utara.
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga dipergunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu yang telah meninggal dunia.

Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak (nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?

Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan sang abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Sibou menolong abangnya?

Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.

Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.

“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.

Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.

Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.

“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.

Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”

Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.

Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.